Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memutus bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU dalam perkara Asabri namun tidak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Heru Hidayat, padahal tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah hukuman mati. Putusan ini agak aneh dilihat dari aspek rasa keadilan masyarakat dan logika hukum. Masak ada sebuah perbuatan melawan hukum yang tidak punya putusan hukuman, yang di mana perbuatannya sudah cukup jelas telah memenuhi unsur perbuatan pidananya, ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat yang telah menjadi korban dikasus
Putusan tersebut memang harus dihormati, namun dari sisi pandangan kritis putusan pengadilan juga bisa dilawan untuk mencapai rasa keadilan masyarakat yang diharapkan. Apabila pertimbangan hakim berputar putar pada masalah tidak dimasukannya Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam surat dakwaan, dan hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 71 KUHP tentang delik tertinggal, kemudian memutuskan tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat, Hakim terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Pasal 71 KUHP memang menggariskan Hakim dalam memutus agar mempertimbangkan putusan sebelumnya namun bukan berarti kemudian hakim tidak menjatuhkan pidana.
Pasal itu pun dalam konteks concursus realis, pada perkara Heru Hidayat ini adalah dalam kontek pengulangan perbuatan tindak pidana yang dimaknai secara khusus karena memang diatur khusus dalam UU Tipikor sebagai pemberatan pidana. Dan, perlu diingat bahwa Pasal 71 KUHP juga tidak melarang hakim untuk menjatuhkan pidana, apalagi perkara sebelumnya telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka yang proporsional adalah dengan hukuman mati sebagai pemberatan, bukan menihilkan pidana. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat.
Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp. 16,7 Triliun, akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp. 22,7 Triliun di kasus Asabri Kami mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut saya merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
Perlawanan terhadap putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat memang sudah selayaknya untuk dilawan. Biar Hakim juga sadar bahwa hukum dan penegakan hukum itu untuk kemanfaatan yang dirasakan masyarakat bukan untuk kepuasan norma hukum itu sendiri. Kami berharap Putusan Banding nantinya Hakim akan progersif dan mengutamakan keadilan substantive untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putusan tingkat pertama yang aneh dan keluar dari logika hukum yang sejati.
Dan saya meminta kepada Mahkamah Agung untuk menurunkan Team penggawas untuk memeriksa para hakim dan Komisi Yudisial untuk memantau persidangan ke depannya.
Putusan Korupsi: Kasus Rp 16,7 Triliun Dihukum tapi yang Rp 22,7 T Justru Tidak
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah memutus bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan TPPU dalam perkara Asabri namun tidak menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Heru Hidayat, padahal tuntutan Jaksa Penuntut Umum adalah hukuman mati. Putusan ini agak aneh dilihat dari aspek rasa keadilan masyarakat dan logika hukum. Masak ada sebuah perbuatan melawan hukum yang tidak punya putusan hukuman, yang di mana perbuatannya sudah cukup jelas telah memenuhi unsur perbuatan pidananya, ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat yang telah menjadi korban dikasus
Putusan tersebut memang harus dihormati, namun dari sisi pandangan kritis putusan pengadilan juga bisa dilawan untuk mencapai rasa keadilan masyarakat yang diharapkan. Apabila pertimbangan hakim berputar putar pada masalah tidak dimasukannya Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dalam surat dakwaan, dan hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 71 KUHP tentang delik tertinggal, kemudian memutuskan tidak menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Heru Hidayat, Hakim terbelenggu pada konsep keadilan prosedural namun bukan keadilan substantif yang diharapkan olah masyarakat luas. Pasal 71 KUHP memang menggariskan Hakim dalam memutus agar mempertimbangkan putusan sebelumnya namun bukan berarti kemudian hakim tidak menjatuhkan pidana.
Pasal itu pun dalam konteks concursus realis, pada perkara Heru Hidayat ini adalah dalam kontek pengulangan perbuatan tindak pidana yang dimaknai secara khusus karena memang diatur khusus dalam UU Tipikor sebagai pemberatan pidana. Dan, perlu diingat bahwa Pasal 71 KUHP juga tidak melarang hakim untuk menjatuhkan pidana, apalagi perkara sebelumnya telah dijatuhi hukuman seumur hidup maka yang proporsional adalah dengan hukuman mati sebagai pemberatan, bukan menihilkan pidana. Hakim seharusnya progresif untuk menemukan hukumnya bukan menyerah pada sifat prosedural hukum dengan menafikan rasa keadilan masyarakat.
Dapat dibayangkan Heru Hidayat dihukum seumur hidup dalam perkara tipikor Asuransi Jiwasraya dengan kerugian negara yang timbul sebesar Rp. 16,7 Triliun, akan tetapi tanpa menjatuhkan hukuman pidana kepada Heru Hidayat padahal kerugian yang timbul lebih besar yaitu Rp. 22,7 Triliun di kasus Asabri Kami mendukung sikap Jaksa Penuntut Umum yang langsung menyatakan banding dengan tanpa mengurangi penghormatan atas putusan hakim. Upaya Hukum Banding ini, menurut saya merupakan upaya Jaksa Penuntut Umum untuk menegakkan rasa keadilan masyarakat yang terluka dan menegaskan bahwa hukum itu tajam ke atas dan tumpul ke bawah.
Perlawanan terhadap putusan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat memang sudah selayaknya untuk dilawan. Biar Hakim juga sadar bahwa hukum dan penegakan hukum itu untuk kemanfaatan yang dirasakan masyarakat bukan untuk kepuasan norma hukum itu sendiri. Kami berharap Putusan Banding nantinya Hakim akan progersif dan mengutamakan keadilan substantive untuk mengobati rasa keadilan masyarakat yang terluka atas putusan tingkat pertama yang aneh dan keluar dari logika hukum yang sejati.
Dan saya meminta kepada Mahkamah Agung untuk menurunkan Team penggawas untuk memeriksa para hakim dan Komisi Yudisial untuk memantau persidangan ke depannya.